Mendukung Putusan Jokowi Menolak Pembebasan Koruptor
Dalam rangka mengantisipasi penularan virus corona atau Covid-19 di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) yang overkapasitas, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly telah membebaskan 30.432 narapidana dan anak melalui program asimilasi dan integrasi.
Merasa tidak cukup, Yasonna Laoly kemudian berencana merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan. Rencana revisi PP tersebut memiliki mekanisme yang berfokus pada syarat pembebasan narapidana (napi) kasus tindak pidana korupsi (tipikor) dan narkoba sehingga membuka celah besar bagi mereka untuk bebas dari hukuman.
Syarat pertama yang diusulkan Yasonna berlaku bagi napi kasus narkotika yang memiliki masa pidana 5 sampai 10 tahun yang sudah menjalani 2/3 masa tahanan. Kemudian, napi kasus tipikor yang berusia 60 tahun ke atas dan sudah menjalani 2/3 masa tahanan. Ketiga, napi tindak pidana khusus yang mengidap sakit kronis dan sudah menjalani 2/3 masa tahanan. Terakhir, berlaku bagi napi Warga Negara Asing (WNA).
Wacana tersebut mendapat respons negatif dari berbagai sisi, baik penolakan yang berasal dari kalangan masyarakat, maupun lembaga pemerintah. Misalnya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Police Watch (IPC), Wadah Pegawai (WP) dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara kompak menolak rencana Yasonna tersebut.
Bahkan, kebijakan pro napi koruptor tersebut bukanlah kali pertama. Menurut ICW, setidaknya selama Yasonna menjabat sebagai Menkumham dari 2015 hingga 2020, sudah terdapat delapan pernyataan yang arahnya mengurangi masa hukuman napi koruptor. Hal ini lantas kian mengundang kekhawatiran publik terhadap kebijakan yang diusung Yasonna.
Polemik tersebut akhirnya mulai mereda ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui sambungan konferensi video pada Senin (6/4/2020) angkat suara. Ia menegaskan bahwa pemerintah Indonesia hanya akan membebaskan napi umum yang telah memenuhi syarat dan tidak akan membebaskan napi koruptor.
Bahkan, Presiden Jokowi mengklarifikasi bahwa masalah terkait pembebasan napi koruptor tidak pernah didiskusikan dalam rapat sehingga tidak ada revisi untuk PP Nomor 99 Tahun 2012. Teguran keras bagi Yasonna tersebut dinilai sudah sangat tepat oleh kalangan masyarakat. Bahkan, sikap tegas Jokowi diapresiasi oleh ICW.
Namun, berkaca dari masalah-masalah sebelumnya, misalnya ketika masalah revisi Undang-Undang (UU) KPK dan Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP yang menimbulkan pergolakan besar di tengah publik, Jokowi justru melakukan tindakan tarik-ulur.
Tindakan tarik-ulur tersebut adalah wujud dari sikap inkonsistensi Presiden Jokowi. Lebih jelasnya, hal tersebut terlihat ketika Jokowi menunda pengesahan RUU KUHP, namun tidak memberikan pernyataan penolakan terhadap revisi UU KPK yang saat itu telah disahkan sebagai UU.
Tidak hanya itu, sikap inkonsistensi Jokowi juga terlihat ketika kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintahan di bawahnya sering mengalami perubahan dalam waktu yang singkat. Hal ini juga pernah dikatakan langsung oleh Pengamat Politik Universitas Paramadina Hendri Satrio.
Atas dasar inilah, penulis berharap keputusan Presiden Jokowi yang dengan tegas telah menolak pembebasan narapidana koruptor akan ditegakkan secara nyata dan konsisten. Hal ini juga sesuai dengan keinginan masyarakat Indonesia yang tetap memilih untuk tidak membebaskan para koruptor bangsa, meski Yasonna telah menggunakan alasan kelebihan kapasitas dalam lapas.
Biarkan koruptor menjalani “lockdown” di dalam penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yang telah menyengsarakan banyak masyarakat. Mengingat bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa, maka negara wajib memberikan efek jera baik bagi pelaku maupun orang yang berniat melakukan korupsi.
Penulis : Jessica Cornelia Ivanny