Mahasiswa Magang Rawan terhadap Eksploitasi Ketenagakerjaan | Pranusa.ID

Mahasiswa Magang Rawan terhadap Eksploitasi Ketenagakerjaan


Pers Rilis | Penulis: Ardha Kesuma

PRANUSA.ID– Pusat Studi Perdagangan Dunia UGM berkolaborasi dengan Suryakanta Institute menggelar Sarasehan Demokrasi Ekonomi Indonesia (SARDEIN) seri ke-lima secara daring, pada Jumat (9/6). Diikuti oleh puluhan peserta dengan latar belakang akademisi, aktivis, praktisi, dan pemangku kebijakan, diskusi sepanjang 120 menit mengupas pokok bahasan ‘Magang Mahasiswa di Tengah Pusaran Rezim Ketenagakerjaan Indonesia’.

Mario Aden Bayu Valendo, S.IP selaku Kepala Devisi Pemberdayaan dan Kolaborasi Komunitas PSPD UGM membuka acara dengan sajian angka 7,99% dari total pengangguran di Indonesia merupakan hasil kontribusi dari situasi di perguruan tinggi.

“Bukan hanya fenomena sarjana kesulitan mencari pekerjaan, namun kondisi sempitnya lapangan pekerjaan bagi usia produktif telah lebih banyak terisi oleh para pemagang,” katanya dari keterangan tertulis yang diterima oleh Pranusa.ID pada Sabtu (10/06/2023).

Kehadiran narasumber dari Fakultas Hukum UGM, Nabiyla Risfa Izzati, S.H., LL.M.(Adv) mengupas adanya celah hukum ketenagakerjaan yang tidak sanggup menaungi pemagangan pelajar dan mahasiswa. Sementara itu, magang bukanlah hal yang berdiri sendiri, melainkan atas proses politik dalam negeri hingga global.

“UU Cipta Kerja sebagai salah satu contoh bagaimana politik global dihadirkan ke dalam ketenagakerjaan Indonesia. Investor luar negeri difasilitasi oleh Negara atas tujuan perluasan lapangan pekerjaan, salah satunya sebagai ruang magang pelajar dan mahasiswa,” terang Nabiyla.

Istilah magang dikenal dan diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dinyatakan bahwa magang merupakan bagian dari sistem pelatihan kerja, di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruksi atau pekerja yang lebih berpengalaman, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu. Peraturan pelaksanaan melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2020, yang mana pemagang mendapatkan hak berupa bimbingan dan instruksi, memperoleh uang saku yang layak, dan diikutsertakan dalam jaminan sosial.

“Walaupun begitu, bukan berarti magang tanpa praktik ketidakadilan. Belakangan ini, banyak kasus eksploitasi internship yang dialami oleh para pelajar dan mahasiswa. Salah satu penyebabnya, ketentuan-ketentuan pemagangan dalam UU No. 13 Tahun 2003 dan Permenaker No. 6 Tahun 2020 hanya bisa diterapkan pada pemagangan yang bersifat apprenticeship, bukan internship. Apprenticeship umumnya berbentuk on the job training, atau pencari kerja yang sedang dalam proses pelatihan kerja, atau mereka yang telah lulus sekolah dan lulus kuliah. Sedangkan, internship dilakukan oleh para pelajar dan mahasiswa yang dalam hal ini untuk mencari pengalaman,” jelasnya.

Ketiadaan payung hukum menyebabkan pemagang pelajar dan mahasiswa rawan untuk dieksploitasi. Mereka mendapatkan beban kerja tinggi dengan jam kerja layaknya pekerja penuh waktu, bahkan ada target yang harus dipenuhi, namun tanpa kompensasi upah dan jaminan sosial. Terdapat pula beberapa perusahaan dan lembaga memberikan aturan tarif yang harus dibayarkan oleh pemagang pelajar dan mahasiswa.

“Bukan perusahaan yang butuh kamu, tapi kamu butuh perusahaan,” kata Nabiyla memberikan gambaran bagaimana korporasi menyudutkan pemagang.

Karut-marut distribusi hak dan kewajiban ketenagakerjaan dalam pemagangan nyatanya tak menyurutkan institusi pendidikan dalam mengirim pelajar dan mahasiswanya sebagai pekerja magang. Magang bahkan bukan lagi dimaknai sebagai proses belajar, namun suatu tuntutan dalam rupa syarat kelulusan. Kini, magang telah menjadi suatu norma yang harus dipatuhi oleh pelajar dan mahasiswa. Kurikulum pembelajaran justru menjebak peserta didik sebagai korban ketidakadilan sistem korporasi, alih-alih kebebasan dalam membentuk paradigma berpikirnya.

Korporasi dan lembaga pemberi kerja menyalahgunakan sistem pendidikan untuk menekan biaya gaji karyawan. Merekrut pemagang sama artinya menyelesaikan banyak pekerjaan, meraup lebih banyak target, namun tanpa kenaikan pembiayaan operasional. Mempekerjakan pemagang pelajar dan mahasiswa jauh lebih menguntungkan daripada menanggung kontrak kerja karyawan professional. Hasilnya, cadangan tenaga kerja atau orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan akan semakin meningkat disebabkan pemagang yang mengambil alih kesempatan kerja usia produktif.

Memperbaiki celah dan nyarisnya kekosongan hukum ketenagakerjaan terhadap pemagangan pelajar dan mahasiswa, direkomendasikan adanya revisi Permenaker No. 6 Tahun 2020 untuk tidak hanya melingkupi apprenticeship, namun juga internship. Juga perlunya mendorong adanya aturan yang mengatur hak bagi pekerja intern, seperti uang saku, jaminan kecelakaan kerja, dan lainnya. Indonesia dapat belajar dari aturan magang di Inggris yang memiliki ketentuan bahwa para mahasiswa pemagang, selama mereka bekerja akan tetap dianggap sebagai pekerja, dan harus mendapatkan upah minimum kota.

Sementara itu mengupayakan perbaikan regulasi, peserta magang harus paham terhadap hak-haknya sebelum berkomitmen dalam suatu program magang. Pelajar dan mahasiswa harus mampu selektif dalam memilih tempat magang. Misalnya, tidak perlu menyepakati progam magang jika perusahaan atau lembaga memberikan beban kerja yang berlebihan tanpa kompensasi, memberlakukan penalty, serta tidak terbuka mengenai syarat dan ketentuan magang.

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top