Dua Tahun Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf
OPINI– Tepat pada tanggal 20 Oktober 2021, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf genap berusia dua tahun atau tujuh tahun bagi Jokowi yang terpilih sebagai presiden dua periode di tahun 2019. Selama dua tahun itu pula pemimpin pilihan rakyat ini banyak menuai persoalan.
Dalam bidang pemberantasan korupsi, Jokowi-Ma’ruf dianggap gagal menyelamatkan marwah KPK yang terus menerus mengalami pelemahan secara sistematis. Mulai dari pengesahan revisi UU KPK yang mengkerdilkan wewenang lembaga antirasuah tersebut hingga tes wawasan kebangsaan yang sukses menyingkirkan 56 pegawai KPK.
Terkhusus Jokowi, ia memang perlu menjadi sorotan atas persoalan tersebut karena tidak berani mengambil tindakan tegas padahal pernah mengutarakan janji akan memperkuat KPK. Jokowi sekarang bahkan terkesan lepas tangan karena memilih diam atas situasi yang dihadapi oleh KPK.
Dalam bidang demokrasi dan penegakan hukum, pemerintah Jokowi-Ma’ruf juga tidak sepenuhnya baik dalam menjaga iklim ideal bagi kelompok masyarakat yang ingin menyampaikan pendapat di muka umum. Bahkan, di dua tahun ini rasanya terjadi kemunduran yang begitu terlihat terkait dengan kebebasan sipil.
Aparat negara sebagai elemen penegak hukum cenderung bertindak represif, terbukti dari penghapusan dan pengejaran terhadap oknum pembuat mural kritik kepada Jokowi, hingga yang baru-baru terjadi yakni mahasiswa yang dibanting oleh aparat saat melakukan aksi di Tangerang.
Sebelum itu, catatan tindakan represif aparat negara terlihat dalam aksi massa menolak UU Cipta Kerja, di mana Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya ada 43 insiden kekerasan oleh polisi yang terjadi dalam aksi antara 6 Oktober hingga 10 November 2020. Amnesty juga mendokumentasikan setidaknya ada 402 korban kekerasan polisi di 15 provinsi selama aksi tersebut. Ada 6.658 orang yang ditangkap di 12 provinsi, dan sebanyak 301 dari mereka sempat ditahan dengan jangka waktu yang berbeda-beda, termasuk 18 jurnalis. Kemudian dalam protes secara daring terhadap UU tersebut, 18 orang di tujuh provinsi menjadi tersangka atas tuduhan melanggar UU ITE.
Terkait poin UU ITE, secara umum, Amnesty Internasional Indonesia mencatat, setidaknya terdapat 101 kasus pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE pada tahun 2020.
Di satu sisi, penegakan hukum justru sepertinya lembut ke pihak koruptor. Juliari Batubara, eks Menteri Sosial yang melakukan korupsi dana bantuan sosial pandemi Covid-19 hanya dijatuhi vonis 12 tahun penjara. Vonis itu jauh lebih ringan dari ancaman hukuman maksimal 20 tahun atau penjara seumur hidup.
Padahal, ia telah terbukti menerima suap Rp 32 miliar dan bersikukuh menyangkal terlibat korupsi (tidak terbuka). Lucunya, hakim meringankan hukuman dengan dalih politikus PDI Perjuangan itu telah mendapat cacian dan hinaan dari masyarakat.
Selain itu, penegakan hukum untuk kasus pelanggaran HAM di masa lalu pun masih belum terselesaikan. Penuntasan kasus pelanggaran HAM di Indonesia merupakan komitmen Jokowi di periode pertama ketika berpasangan dengan Jusuf Kalla. Namun, janji tersebut tak kunjung ditepati bahkan tidak disinggung dalam prioritas kerja di periode ke dua Jokowi menjadi presiden.
Berdasarkan keterangan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, terdapat 12 kasus pelanggaran HAM yang belum tuntas sampai saat ini. Kasus-kasus ini mulai dari pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib hingga kerusuhan Mei 1998. Hal tersebut memperlihatkan ketiadaan komitmen yang utuh dari Jokowi untuk menyelesaikan luka masa lalu bangsa ini.
Meski ada catatan evaluasi di atas, menurut saya, ada bidang-bidang lain yang cukup optimal ditangani oleh pemerintah. Pertama, dalam bidang kesehatan dan ekonomi, di mana pemerintahan Jokowi-Ma’ruf harus dihadapkan pada tantangan besar yakni pandemi Covid-19.
Sempat kewalahan di awal, namun perlahan-perlahan, pemerintah mampu untuk mengambil langkah bijak dan pasti guna menanggulangi Covid-19. Seperti melalui penerapan PPKM hingga gencarnya proses vaksinasi.
Usaha pemerintah dalam menangani pandemi pun menuai kepuasan dari publik. Hal itu bisa dilihat dari hasil survei yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang menunjukkan tren kepuasan terhadap kerja pemerintah pusat dalam menangani Covid-19 cenderung meningkat dalam setahun terakhir, yakni dari 60,7 persen pada Oktober 2020 menjadi 64,6 persen pada September 2021.
Sisi ekonomi yang sempat terhempas oleh pandemi pun juga mengalami peningkatan. Selain disebabkan infrastruktur yang terus digencarkan oleh pemerintah guna memutar roda perekonomian di level daerah, langkah seperti pemberian bantuan untuk kelompok pekerja masyarakat, pelaku UMKM, dan optimalisasi ekspor di sektor perkebunan membuat ekonomi mampu bertahan di tengah pandemi.
Bahkan, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II 2021 mencapai 7,07 persen secara tahunan (year on year/yoy). Capaian tersebut menjadi titik balik setelah mengalami kontraksi 4 kali berturut-turut sejak kuartal II 2020. Kala itu di kuartal II 2021, ekonomi RI -5,32 persen.
Namun, pemerintah juga perlu memperhatikan jumlah utang yang berdasarkan data per Agutsus 2021 angkanya mencapai Rp 6.625,43 triliun. Pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19 harus tetap menjaga pengelolaan utang secara hati-hati, terukur, dan fleksibel.
Tiga Tahun Lagi
Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf masih mempunyai waktu tiga tahun lagi untuk menuntaskan janji dan menyelesaikan ragam persoalan di negeri ini. Tiga tahun ini sekaligus menjadi kesempatan terakhir bagi Jokowi karena sudah tidak bisa maju lagi sebagai presiden di periode berikutnya.
Arah pandang pemerintah Jokowi-Ma’ruf yang berorientasi pada pembangunan infrastruktur dan ekonomi sungguh baik, namun aspek lain seperti penegakan hukum yang adil dan humanis, demokrasi, serta komitmen terhadap pemberantasan korupsi juga perlu menjadi fokus utama yang harus dituntaskan.
Artinya, sisa tiga tahun mesti dimanfaatkan secara optimal oleh Jokowi-Ma’ruf untuk membuktikan diri mampu menjalankan roda pemerintahan dengan memetakan dan memecahkan masalah secara komprehensif. Jangan sampai, Jokowi-Ma’ruf meninggalkan utang persoalan dan kesan buruk di masa mendatang.