Pancasila Dalam RUU dan Nalar Kita | Pranusa.ID

Pancasila Dalam RUU dan Nalar Kita


Thom Sembiring, Pegiat Jangkar Nusantara

Adakah yang bisa menjelaskan, mengapa demo RUU HIP bisa membuat mereka yang anti Pancasila, begitu peduli soal Pancasila? Saya tidak ada masalah dengan pendukung ideologi lain, selain Pancasila. Mulai dari pemuja komunisme, kapitalisme, feminisme, khilafah hingga pendukung bumi datar pun, punya hak sama dalam mengemukakan pendapat. Itulah demokrasi, itulah konsekuensi Pancasila yang banyak tak paham.

 
Dalam Pancasila, berbagai perbedaan pandangan merupakan sebuah dinamika publik dalam merayakan keberagaman serta mendorong lahirnya dialektika yang mencerahkan. Ideologi Pancasila, membuat beragam pihak yang berbeda jauh pandangannya pun bisa akur. Sebagai contoh, keragaman agama hingga keragaman budaya, yang direkat dengan sangat baik. Ada satu dua konflik kadang hadir dalam sejarah perjalanan kita berbangsa. Tapi, masih cukup bisa dipahami meski harus selalu dicegah agar tak terjadi lagi.
 
Lantas apa yang membuat sebagian para pendukung Kilafah tiba-tiba peduli Pancasila. Padahal jelas titiknya, mereka tidak menerima Pancasila. Ini tentu saja ada bakwan dibalik udang. Sudah terlalu menggelikan untuk dilihat atau ditertawakan.
 
Sebagian teman saya yang pendukung khilafah menertawakan aksi tersebut. Sekali lagi inilah kebhinnekaan. Jangan keliru, tak semua pendukung khilafah itu satu dan sama. Masing-masing lagi, punya juga ciri khas dan prinsipnya yang membedakan dengan yang lain. Tak semua juga punya pandangan sama soal demonstrasi.
 

Saya pribadi, adalah penolak RUU HIP tersebut. Tentu bukan karena isinya. Jujur saja, belum baca isinya. Jadi penolakan ini lebih karena momen pembahasan RUU selama pandemi bagi saya sebenarnya patut ditunda. Apalagi selama pandemi ini sedang banyak penumpang gelap yang menunggu momen gerak menuju kekuasaan sambil merayap.

Penolakan berikut lebih karena ada kesan kegemaran kita menciptakan formalisasi nilai Pancasila yang sayangnya, kita sendiri banyak tidak praktikkan di Undang-Undang lain. Atau kalaupun ada dalam Undang-Undang karena syarat formal pembentukannya, lalu tidak dipraktikkan dalam kebijakan turunan. Cilakanya, ada yang diturunkan dalam kebijakan turunan pun, di lapangan tetap diabaikan. Ada proses mubazir dan ketidakkonsistenan dalam mendorong sebuah UU dan Peraturan, seakan hanya ingin dibuat untuk generasi pasca pembuat UU.

 
Ini sama munafiknya dengan para demonstran penolak RUU HIP. Sebab faktanya, demonstran sendiri tidak paham apa yang ditolak. Mereka hanya digerakkan. Lebih menggelikan, membawa simbol yang selama ini mempromosikan ideologi politik keagamaan mereka sambil menentang Pancasila. Sangat menggelikan dan sebuah ajang pamer kemunafikan.
 
Titik temu kemunafikan antara pembuat RUU HIP dan penolaknya adalah sikap tidak konsisten. Satunya tidak konsisten melakukan pengawasan Undang-Undang serta memastikan ideologi Pancasila, tersurat atau tersirat, dapat masuk dalam kebijakan yang berjalan di lapangan. Sementara yang lain selain lucu karena selama ini mengesankan sikap pro ideologi lain yang dianggap lebih tepat, tapi pada saat yang sama begitu peduli pada Pancasila.
 
Ambil saja contoh terkait Reforma Agraria yang di era Bung Karno pernah menjadi salah satu perhatian melalui UU Pokok Agraria tahun 1960. Sebuah konsep penataan kembali susunan dan struktur kepemilikan lahan agar lebih berkeadilan, terlebih memperhatikan kepentingan kaum tani kita. Terlebih mereka yang oleh Soekarno dikenali sebagai marhaen-marhaen lainnya yang hanya buruh tani tanpa lahan. 
 

Apakah ada itikad pemerintah melakukan sebuah terobosan yang cepat, secepat itikad pemerintah memuluskan Omnibus Law, dalam konteks Reforma Agraria? Agar persoalan lahan, tidak selalu jadi sengketa berdarah di lahan tambang, perkebunan, proyek perumahan hingga proyek Ibu Kota Negara baru nantinya. Lebih lagi, agar masalah krisis pangan kita bisa dihadapi dengan struktur penguasaan lahan yang berkeadilan bagi rakyat.

Presiden Jokowi memang menjadi yang pertama membuat terobosan soal kebijakan turunan dari UU yang sudah berusia 60 tahun itu. Bayangkan, butuh lebih dari 50 tahun bagi pemerintah dan DPR untuk sekadar menurunkan kebijakan yang sangat Pancasilais, menjadi kebijakan Reforma Agraria. Agar redistribusi lahan dapat memberikan rasa keadilan bagi rakyat, bukan sekadar bagi pelaku usaha atau yang punya proyek demo sebagai usaha. Tapi apakah ada terobosan besar lagi kemudian.

Tentu akan ada yang mengatakan, ada. Pastinya. Tapi sejauh mana itikad itu dituntaskan. Sejauh mana hari ini kita lihat upaya pemerintah memperhatikan keadilan dalam distribusi lahan ini. Faktanya, pemodal dan pengusaha lebih mudah mendapatkan akses terhadap lahan ketimbang rakyat dan petani Indonesia yang hanya punya lahan rata-rata setengah hektar. Bagaimana berharap bisa swasembada, bila lahan untuk daulat pangan lebih banyak diberikan untuk industri lain yang tidak berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat.
 
Cek, apakah pernah pula para penolak HIP dari kalangan yang sebenarnya kerap menjual politik keagamaan dan anti Pancasila itu, melakukan demonstrasi pada isu yang sebenarnya sangat agamis serta sangat Pancasilais. Sebagai contoh soal Reforma Agraria tadi.  Sebuah konsep keadilan dalam hal kepemilikan lahan agar tidak timpang dan melahirkan penindasan. Pernahkah mereka berjuang untuk itu? Untuk sepenuhnya keadilan rakyat dan bukan cuma bicara soal ayat-ayat dan membangun sekat besar di tengah masyarakat menggunakan politik identitas. Atau barangkali pernahkah mereka peduli dan menolak rasisme serta marginalisasi terhadap saudari-saudara kita dari Papua.
 
Pernahkah anda lihat mereka menolak tajam dan sampai mengerahkan massa untuk RUU yang dikritik tak berpihak pada rakyat? Pernah anda mendengar mereka berjuang keras agar produk UU yang lebih menguntungkan pelaku usaha tidak disahkan? Pernahkah mereka mendorong UU Reforma Agraria yang kontekstual dengan kebutuhan rakyat dan negara hari ini. Coba anda pikirkan baik-baik.
Hari ini, beragam simbol keagamaan bisa dipakai untuk untuk menunjukkan sikap heroik peduli rakyat dan negara. Sama halnya banyak yang memakai Pancasila sebagai bahan RUU namun di saat yang lain, tak menerbitkan atau mengawal lahirnya lebih banyak kebijakan Pancasilais. Jadi berhati-hati dengan bungkus, asah logika anda. Terkait RUU HIP, saya kira pandangan cendikiawan kita dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, sudah dengan jernih mengingatkan. Perlu sikap hati-hati dalam merumuskan dan tunda sejenak obsesi ideologis ini dengan bijaksana.
 
Tapi soal kemunafikan, perlu setiap kita waspada. Ada banyak orang punya modal untuk beli kostum bahkan beli manusia yang bersedia memakai kostum demi mengelabui kebenaran. Tapi rakyat, bila tak menajamkan nalarnya, hanya akan jadi korban politik kostum dari pemilik modal yang mau meraih kepentingan politik ekonominya dari demonstrasi jalanan. Waspadalah.
 
Jangan terkecoh. Mereka bakar bendera, mereka ribut soal komunisme, biarlah. Itu adalah hak demokrasi mereka yang hanya bisa diraih karena kita bersepakat dengan Pancasila. Pun begitu, kita mesti waspada. Kritis dengan strategi besar orang-orang yang selama ini menimbulkan riuh dan konflik disana-sini. Cermat dengan mereka yang selama ini bermain membakar emosi rakyat, tanpa nalar kita bekerja dan lekas sadar. Dua kali, waspadalah, waspadalah.

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top