Menakar Peran Manusia dalam Perubahan Budaya | Pranusa.ID

Menakar Peran Manusia dalam Perubahan Budaya


Penulis adalah Ambrosius M. Loho, M. Fil. Pengajar di Unika De La Salle Manado, Pegiat Filsafat, Praktisi seni tradisional.

KOLOM- Tidaklah mengherankan jika saat ini, terjadi perubahan besar dalam kebudayaan dan peradaban. Perubahan besar itu terjadi, karena fakta menunjukkan bahwa seiring waktu berjalan, kebudayaan berkembang dan terus berubah.

Maka tak jarang terjadi bahwa terdapat pergeseran, persilangan dan persinggungan substansi dari masyarakat di dalam kebudayaan itu, tapi juga model subjek yang menggerakkan kebudayaan itu.

Demikianlah, dapat dikatakan bahwa kebudayaan seakan menjadi sebuah ‘urusan yang tak akan pernah terselesaikan’, dan dengan itu pula, tak bisa terelakkan jika kebanyakan orang menyebutkan bahwa kebudayaan adalah dasar pembentuk identitas manusia.

Kendati demikian, kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, karsa dan karya manusia. maka manusia akan selalu dan terus menerus berperan dalam sebuah kebudayaan. Kebudayaan tidak dapat dipertahankan, tetapi harus dilestarikan.

Kebudayaan selalu berubah mengikuti jaman dan perubahan itu tidak dapat dihentikan. Perubahan kebudayaan adalah pertanda perubahan zaman. Toh begitu, berkembang dan berubah, kebudayaan tidak pernah bisa lepas dari manusia. Maka dapatlah ditegaskan bahwa perubahan dalam kebudayaan, tidak tanpa kaitan yang erat dengan manusia. (Veeger 1992: 9).

Berangkat dari pemahaman dasar di atas, muncul sebuah pertanyaan reflektif: Apa peran sentral dari manusia? Apakah benar manusia merupakan tokoh kunci dalam sebuah perubahan kebudayaan? Mendasari pertanyaan ini, bagi manusia, memahami kebudayaan juga berarti memahami diri dan identitas-nya sendiri. Maka penting untuk dipahami manusia adalah tokoh kunci dalam sebuah perubahan kebudayaan.

van Peursen menguraikan dalam ‘Strategi Kebudayaan’, bahwa kebudayaan tak lain adalah ‘caranya seorang manusia berada’, cara manusia mengekspresikan diri dan caranya manusia mencari relasi-relasi yang tepat terhadap dunia sekitarnya. (Peursen 1988: 105).

Selanjutnya, Veeger menegaskan pula bahwa semua yang terdapat dalam alam, dapat diperkembangkan oleh manusia. Manusia berakar sepenuhnya dalam alam raya dan sekaligus mengambil jarak darinya.

Maka dalam segala aktivitasnya, manusia selalu memprakarsai, karena juga selalu mengawali tindakannya dengan akal budi. (Veeger hlm. 5-6). Jadi, dari sini tampaklah peran sentral manusia di dalam budaya dan perubahannya.

Berbanding lurus dengan hal itu, kita sebetulnya sudah mengetahui bahwa manusia adalah tokoh sentral dalam setiap perubahan budaya. Budaya berubah, dikarenakan oleh manusia yang berubah.

Maka dari itu, budaya yang berubah, yang disebabkan oleh andil manusia, juga didasari oleh karakter manusia yang adaptif. Manusia yang adaptif adalah manusia yang mampu menyesuaikan diri dengan segala macam perubahan yang ada.

Dalam salah satu artikel yang pernah penulis publikasikan, berjudul “Kebudayaan, Peradaban dan Keterasingan Manusia”, telah diuraikan bahwa saat ini kita berada dalam sebuah periode kebudayaaan yang bergerak cepat. Perubahan yang sangat cepat itu nampak misalnya dalam penciptaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Teranyar kita alami yaitu adanya budaya baru yang mulai dipraktekkan oleh banyak orang yakni pembelajaran daring, pembelajaran yang memanfaatkan media online. Sadar atau tidak, fakta ini tentu wujud dari perubahan sebuah budaya, dan yang paling berperan didalamnya adalah manusia.

Dari fakta ini pula, tak mengherankan kita sering beranggapan bahwa munculnya budaya baru, yang melibatkan manusia itu, menyebabkan adanya kegelisahan dan kecemasan bagi manusia dan pola belajar mengajar sehari-hari. Mengapa demikian, karena pola budaya yang baru tersebut, katakanlah, membuat kagok kelompok orang tertentu.

Apalagi bagi individu-individu yang bisa saja belum siap menghadapi budaya baru itu. Dalam kondisi demikian, tentu saja identitas diri manusia sungguh dipertaruhkan. (Sugiharto 2013: 263).

Namun begitu, kendati identitas diri manusia dipertaruhkan, kita tidak bisa mundur dan atau menolak kenyataan perubahan budaya itu. Ketika menghadapi itu, tidak boleh tidak, semua harus berusaha dan berupaya untuk menyesuaikan diri dengan adanya budaya baru itu.

Oleh karenanya, kita akhirnya harus menyadari bahwa budaya baru itu adalah sesuatu yang harus dimiliki manusia. Manusia harus menjadikan itu sebagai ‘habitus’ yang baru. Dengan demikian, maka tantangan global, termasuk perubahan budaya, bisa dilewati secara bermartabat. (Sugiharto 2017: 270-271).

Pada saat yang sama, adanya budaya baru yang, jika dipahami dengan benar merupakan hasil cipta manusia, terdapat langkah terpenting untuk dijalani saat ini yaitu, memandang bahwa dunia (kebudayaan dan peradaban) bukan sesuatu yang terpisah dari manusia tetapi menjadi bagian utuh dari manusia.

Jika terjadi perubahan dalam budaya, itu adalah hasil dari perubahan manusia, itu adalah hasil dari cipta, karya, dan karsa manusia. Itulah kebudayaan.

Akhirnya, peran sentral manusia tidak bisa dipungkiri adalah penentu sebuah perubahan budaya, di mana di dalam diri manusia, terdapat karakter dalam bentuk cara berfikir yang awas terhadap keterbatasan pikiran manusia dan teknologi dan sikap proaktif ketimbang hanya reaktif.

Reaktif berarti, dapat mengambil langkah-langkah nyata terhadap sebuah peristiwa. Demikianlah, budaya akan tetap lestari, jika manusianya lestari. Budaya adalah kita, dan kita adalah budaya.

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top