Refleksi 14 Tahun Gempa Yogyakarta | Pranusa.ID

Refleksi 14 Tahun Gempa Yogyakarta


“Wooi! Kurang kerjaan banget sih. Hentikan!” ujarku sambil menendang papan diatas tempat tidur bertingkat anak asrama itu. Tempat tidur yang berayun membuat jengkel pagi itu. Aku mengira Niko yang tidur di sisi atas pasti sedang ngerjain. Begitu pikirku.

Sudah beberapa kali teriak, tak juga berhenti goyangan itu. Sialan, batinku. Lalu perlahan aku membuka mata dan menyadari tak ada siapa-siapa berdiri di sisi tempat tidur. Ilham masih tertidur di sisi lain. Aku masih mengumpulkan kesadaran sampai kemudian menyaksikan beberapa barang di meja belajar mulai bergoyang.

“Gempa!!!!!” teriakku berlari keluar dari kamar.

Sampai di luar teriak lagi membangunkan kawan-kawan yang masih ada di dalam kamar berukuran sekitar 2×5 meter itu. Goncangannya luar biasa, membuat badan berayun agak lama. Gempa berkekuatan 5,9 Skala Richter itu berlangsung sekitar 1 menit.

Kami menduga gempa itu berasal dari Gunung Merapi yang sedang bergejolak dan mengeluarkan wedhus gembel alias debu panas saat itu.

Kami pun bergegas melihat keadaan ke arah depan kompleks. Asrama putra ASMI St. Maria Yogyakarta kala itu ada di bagian belakang kampus, pojok terbelakang dekat auditorium kampus yang megah.

Kami menyaksikan wajah-wajah panik. Banyak orang berhamburan, Jl. Bener yang merupakan jalan utama depan kampus itu penuh dengan kendaraan yang ramai memencet klakson masing-masing.

“Tsunami .. Tsunami… Tsunami!!” begitu teriak mereka.

Kami mulai ikutan panik dan bingung. Baru saja beberapa waktu pusing dengan urusan Merapi, tiba-tiba bayangan tsunami yang dua tahun sebelumnya menghantam Aceh, muncul dalam benak. Tak merasakan gempa di kampung halaman sendiri, kok bisa kena gempa dan tsunami di tanah orang batinku.

Pagi itu semua kepanikan tumpah di jalanan. Lebih membingungkan karena semua hendak mengarah ke utar menuju tempat tinggi karena membayangkan Tsunami. Padahal disana Merapi juga sedang tak bersahabat. Selatan salah, utara pun serba salah.

Saat masih bingung begitu, beberapa orang masuk area kampus. Seorang pemuda bahkan berusaha lari naik ke lantai atas kampus. Saat kami cegah, ia menyebut tsunami beberapa kali dan berusaha menyelamatkan diri dengan naik gedung tinggi.

Kepanikan tak selesai sampai disana. Belum ada kabar mengenai kejadian ini. Akses informasi terganggung karena jaringan telekomunikasi putus. Suster Kepala Asrama yang kebetulan adalah Direktur di lembaga pendidikan itu, meminta kami bersiap.

“Kita ke selatan, saya mau cek benar atau tidak” ujarnya sambil memerintahkan supir bersiap.

Kami dan supir saling memandang, mau membantah pun kalah. Sial, lagi.

Pagi itu juga, kami menuju ke arah selatan. Sepanjang perjalanan menuju pantai Depok itu, kengerian tak terbayang muncul di hadapan kami. Tubuh-tubuh yang lemah, beberapa berdarah, tergeletak di sepanjang jalan kota Bantul. Ada yang dibawa memakai gerobak.

Rasa panik diajak ke selatan dan kengerian melihat bangunan rumah yang roboh bercampur aduk. Apalagi tak bisa disembunyikan kesedihan melihat situasi tubuh yang tergeletak di jalanan itu.

Sampai di pantai, Suster dengan tangan terkepal di pinggang, menatap sesaat ke arah laut. Sebentar kemudian ia beralih ke arah kami dan menyebut ketinggian laut terlihat biasa saja. Kami hanya saling berbisik satu sama lain, berharap lekas beranjak dari pantai itu.

Menurut catatan Harian Kompas Minggu (28/5/2006), sehari setelah kejadian, tercatat 3.098 korban tewas dan 2.971 orang di antaranya berasal dari Kabupaten Bantul saat itu. Belakangan angka itu bertambah.

Bantul yang paling terdampak, selain karena lebih dekat dengan pusat gempa, juga karena bangunan lawas dengan struktur yang kurang kokoh membuat banyak rumah roboh sehingga memakan korban.

Hal ini berbeda dengan kampung halaman di Aceh Tenggara. Dalam ingatan pernah suatu waktu di tahun 1997 gempa besar menghantam. Kami warga Kampung Karo, kala itu lari ke lapangan terbuka untuk menyelamatkan diri sambil menyebut mat, mat, mat yang berarti gempa. Tapi korban jiwa tak sedahsyat itu, mengingat bangunan di Aceh umumnya terdiri dari kayu dan atap seng. Sehingga ketika gempa, resiko kematian tak sebesar yang terjadi di Yogyakarta.

Hari ini, 14 tahun sudah kejadian gempa Yogyakarta yang menyisakan pilu bagi banyak keluarga itu. Meninggalkan kesan mendalam juga bagi saya, karena itu kali pertama pula, kami dari Badan Eksekutif Mahasiswa jadi relawan. Sebagai Ketua BEM masa itu, kami turut membawa berbagai bantuan sembako hingga tikar ke beberapa titik pemukiman warga yang terdampak bahkan hingga ke arah Klaten, Jawa Tengah, yang dekat dengan Yogyakarta. Itu mula pertama pelajaran kerelawanan saya dalam praktik.

Alam selalu memiliki jalannya sendiri dalam mengirim pesan pada manusia. Gempa, tsunami hingga beragam bentuk bencana lainnya kadang kala adalah sebuah pesan untuk menajamkan kemanusiaan kita. Menajamkan solidaritas yang makin hari makin penting untuk disebarkan, terutama dalam masa pandemi saat ini.

Dari alam kita belajar, dari bencana kita belajar. Bahwa kemanusiaan itu satu, namun belum tentu satu untuk semua. Maka semoga semua orang bersatu dengan caranya masing-masing, untuk merawat semangat kemanusiaan dan kepedulian dalam masa bencana. Dengan begitulah, maka kita mampu berdamai dengan bencana yang akan selalu muncul pada masanya.

Dalam bencana, semangat kemanusiaan yang adil dan beradab kiranya jadi pegangan. Terlebih dalam situasi pandemi seperti saat ini. Hendaknya kemanusiaan kita satu dengan tidak membedakan pertolongan hanya berdasarkan golongan semata. Hendaknya kita adil, sehingga tidak mengambil hak bantuan orang lain untuk diri kita sendiri. Apalagi tergiur mendapatkan hak kaum miskin yang sebenarnya bukan hak kita. Menjadi beradab dengan tetap saling mendukung saat terjadi bencana, tidak saling menyalahkan, apalagi melakukan korupsi dana bencana.

Inilah pelajaran besar dari beragam bencana yang kita hadapi, termasuk dari Gempa 2006 di Yogyakarta dan bencana-bencana lainnya. Semoga kita belajar, dan tak lupa berdoa bagi seluruh korban jiwa agar diberi ketenangan di alam sana. Bagi mereka yang masih memiliki beban psikis akibat kejadian itu agar dipulihkan dan dapat berdamai melanjutkan hidup.

Semangat untuk Yogyakarta, tempat banyak kita menimba ilmu dan cintanya.

 

Jakarta, 27 Mei 2020

Penulis merupakan alumni ASMI St. Maria Yogyakarta

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top